Skip to main content
Gong Budaya

follow us

Akal Bulus, Aka Sumbarang Jadi, Sasiuik Anguih Ka Api, Mangko Asok Manjadijadi

Oleh H. Emral Djamal Dt Rajo Mudo

Nagari bapaga undang
kok kampuang bapaga buek
Tiok lasuang ba'ayam gadang
salah tampuah buliah diambek.
(Negeri/negara berpagar Undang
Kampung atau daerah berpagar buat/peraturan daerah
Setiap kaum/komunitas ada pimpinannya
Kalau salah tempuh boleh ditentang/dibantah)

Alam fikiran Minangkabau, adalah ruang lingkup dari sebuah sistem dan metoda khas yang mengatur hubungan dan tatacara hidup berdampingan secara damai yang diterapkan dalam kebersamaan kaum, atau komunitas pesukuan dalam wilayah lingkungan nagarinya masing-masing serta dalam kerangka hubungannya dengan nagari-nagari yang menjadi tetangganya, maupun dalam pergaulan hidup bermasyarakat yang lebih luas, di Luhak atau di Rantau, bahkan dimana saja ia berada. Karena aturan-aturan, norma-norma serta ketentuan-ketentuan dimaksud merupa kan rumusan-rumusan dasar tentang hukum-hukum manusia dan kemanusiaannya yang hidup dalam sebuah lingkungan wilayah alam dengan tatanan adat/aturan bersama nan bajanjang naiek batanggo turun, bulek dek kato nan basamo.

Aturan ideal ini memberi corak dan gaya pelaksanaan yang mewarnai Alam Fikiran Minangkabau (aturan adat) secara khas dan spesifik, dan merupakan “buek” sebagai hasil “amal jadi” karya kreatif niniek moyang manusia Minangkabau pada zamannya, yang diakui dan diwariskan secara turun temurun jawek bajawek dari generasi ke generasi. Alam Fikiran Minangkabau itu seumpama “bijo”, “benih-benih aturan yang siap tanam, siap diberlakukan”, yakni merupakan aturan dasar hukum hukum, dan pemikiran jadi yang dapat dipintal atau direntang dalam penalaran dan penjabaran yang lebih luas dalam alam baik secara teknis maupun filosofis, seperti diterangkan petuah adatnya yang berbunyi :

Kok dibalun sabalun kuku
kok dikambang saleba alam
walau sagadang bijo labu
bumi jo langik ado di dalam

Dengan demikian cita-cita untuk membenihkan bijo, bija yang baik tentulah pada lahan yang subur dalam menerima kebenaran, serta meme lihara sarana dan prasarana untuk memanfaatkan fungsi akal sebagai alat timbangan keadilan, yang akan mengukur jangka-i, dalam mengambil keputusan-keputusan dari berbagai kebijakan yang direncanakan.

Dan tentu pula dapat diharapkan fikiran-fikiran yang dihasilkannya dapat dipergunakan bagi kepentingan analisis ulang terhadap berbagai fenomena masalah-masalah lainnya dalam kehidupan sosial ekonomi, dan strategi budaya yang tak kunjung selesai ini.

Pada hal kita menyadari bahwa setiap saat selalu diharapkan, bahwa sebuah penyelesaian masalah atau konflik diharapkan berakhir pada puncak optimalisasi nilai-nilai keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan dunia dan akhirat. Sementara nenek moyang orang Minangkabau telah mengklaim “dirinya” dengan sistem Adatnya yang diakui dunia, mampu menghadapi berbagai konflik dan tantangan global dalam menyelesaikan masalah masyarakat khususnya masalah anak kemenakan sejak dahulu, sekarang dan bahkan esok. Seperti pepatah Minangkabau mengatakan :

Tak ado kusuik nan indak salasai
tak ado karuah nan tak janieh
(tak ada urusan kusut yang tak selesai
Tak ada masalah keruh/kacau yang tak jernih)

Persoalannya sekarang, apakah manusia itu mau ? Khususnya anak cucu orang Minangkabau sekarang mau menghargai kembali nilai-nilai keputusan yang telah diturun wariskan oleh nenek moyang mereka sendiri lewat pimpinan kaumnya yang dibesarkan dengan panggilan datuk, sutan atau pangulu? Menghargai dengan tindak, laku dan perbuatan, dan menjadi kannya sebagai amal-amal prestasi, yang dapat dibanggakan kembali ke dunia luar. Berbuat dan bertindak dalam alam demi kemashlahatan hajat hidup orang banyak sepanjang Adat Yang Makruf.

Bukan menghargai dalam bentuk ucapan-ucapan ara bicara saja.Tetapi apakah betul betul punya niat, keinginan dan kehendak untuk menyadari, bagaimana pentingnya arti sebuah penyelesaian bagi hal-hal yang kusut dan penjernihan sesuatu pemikiran yang keruh dalam berbagai kemelut ?

Atau hanya sekedar basa-basi orasi untuk pencitraan yang salah kaprah. yang mengatas namakan diri sebagai pencari kebenaran penegak keadilan memberantas kejahilan dan kemungkaran atau bertengger dibalik maksud-maksud jahat kepentingan sepihak, dengan selubung “akal fikiran yang menjalar” (akal bulus) :

Manjala ilie manjala mudiek ,
piuah kiri piuah kanan
piuah jariang nak malilik
piuah kacang nak mamanjek
jalaran aka nak mandapek
indak ka pai kapulang disemba juo
bialah urang rugi asa awak lai balabo.
(menjalar hilir menjalar mudik
Pilin kiri pilin kanan
Seperti pilin buah jengkol melilit dahan
Seperti pilin kacang panjang mau memanjat
Menjalarnya akal mau mendapat
Kalau tidak sempat ketika pergi, ketika pulang disambar juga
Biarin aja orang merugi, asal kita dapat untung)

Dan orang-orang yang mempergunakan komponen akal kecerdasan seperti itu, “menjalar hilir menjalar mudiek” dengan segala ikhtiar apapun tanpa dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk, antara yang haq dengan yang batil, jelas telah bertindak tidak adil dengan dirinya sendiri.

Apalagi kalau yang dipakai itu “akal sembarang jadi: akal sembarang akal, atau akal-akalan, atau akal bulus yang tidak memiliki batas sempadan, tak memiliki raso jo pareso, tak mengenal barih balabek (ukur jangka) dalam adat, yakni nilai, aturan aturan, dan hukum yang berlaku dan diberlakukan dalam alam sebagai wilayah hukum adat, tentulah tindakannya akan dapat menghancurkan dirinya sendiri, karena bermain dengan api (nafsu serakah). Pada hal Tuhan telah memperingatkan untuk tidak membuat kerusakan di muka bumi ini. Hanya orang-orang yang beriman dan bertaqwa sajalah yang mampu memahami peringatan, karena mereka percaya akan murka dan laknat Tuhan Yang Maha Perkasa :

Sasiuik anguih ka api
salewai basah ka aie
Nan tajulai nak maambiek
nan tajambo nak manuai
Manaruah lobo jo tamak
mamakai kisik jo dangki
Kicuah kecong, kianaik jo pitanah
nak manganai sajo, pantang rugi
urang abih awak mandapek
(sebagian hangus ke api(ke neraka)
sebagian basah ke air (karam)
yang terjulai mau mengambil
yang terjangkau mau menuai
memnyimpan loba dan tamak
memakai sifat kizit dan dengki
tipu tepok khianat dan fitnah
mau senang menikmati sendiri saja tapi pantang rugi
biar orang habis kita beruntung mendapat hasilnya)

Komponen kecerdasan yang bergerak aktif dengan kualitas akal yang menyimpang begini harus dihindari, harus diberantas dalam diri,dalam komunitas kaum bahkan masyarakat, kalau tidak ingin terjebak ke dalam kebohongan-kebohongan besar. Bahkan sang pemilik akal kecerdasan seperti ini, akan mengalami gangguan penumpulan otak, bebal seperti keledai, pengekor seperti sapi, yang membahayakan dirinya sendiri akibat dorongan nafsu syahwat ketamakan, kerakusan yang tak terkendali.

Badan rasah pikiran kusuik
aka tatumbuak, hati sampik
Sakik anggoto katujuahnyo
batang tubuah marasoi
(jiwa resah fikiran kusut
Akal tertumbuk hatinya sempit
Sakit anggota badan ketujuhnya
Batang tubuh jasmanimerasakan akibatnya)

Pada hal akal fikiran dengan segala kecerdasannya,kearifannya seperti telah diketahui adalah merupakan amanah yang dihidayahkan Tuhan Yang Maha Menciptakan Kecerdasan dengan wilayah tak terbatas bagi hamba-hambaNya yang beriman dan bertaqwa, yang mengabdikan amal salehnya, berupa tindak laku dan perbuatan terpuji, sesuai dengan kodrat dan iradat Tuhan Yang Maha Menciptakan dirinya untuk tugas menjalankan misi-Nya, menyelesaikan program menegakkan hukum dan keadilan dalam memimpin pembangunan masyarakat (membentuk karakter, membangun jatidiri) dalam kehidupan di bumi ini, sebagai Khalifah Fil Ardhi.

Tuanku Mudo
H. Emral Djamal Dt Rajo Mudo, 2015

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar