Skip to main content
Gong Budaya

follow us

Sebuah Potret Dalam Pusaran Gelombang Kepenyairanku

Oleh : Yum A.Z (Yulfian Azrial)

Tulisan ini tentu saja bukan tulisan sejarah. Ia hanya merupakan bagian kecil dari catatan-catatan sebuah proses pencarian diri seseorang sebagai penyair ; dalam hal ini termasuk aku. Kiranya adalah wajar dan sah bila dalam masa pencarian diri itu kita coba membolak-balik lagi lembaran-lembaran kebudayaan sampai jauh masa silam.

Dalam masa-masa pencarian itulah suatu ketika aku begitu lama terpaku untuk mempesonai sebuah sajak berikut :

Tuhan telah menyembunyikan lautan dan mewujudkan buih 
ia telah menyembunyikan angin dan menunjukan debu 
bagaimana pasir dapat berhamburan sendiri 
tetapi kau melihat pasir dan tidak melihat angin. 
bagaimanakan buih dapat bergerak tanpa laut? 
tetapi kau lihat buih dan tidak melihat laut. 
ahli ahli sihir, di hadapan para pedagang, 
mengukur sinar bulan dan mendapat upah emas. 
dunia ini adalah tukang sihir 
dan kita adalah para pedagang yang membeli cahaya bulan.

Beberapa kali aku harus menghela nafas, bagaimana bisa seorang penyair menukilkan kata dalam tutur yang begitu sejuk merasuk. Lalu jiwa seketika terasa gemetar.

Sayang, ketika membaca sajak itu pertama kali, aku tak menemui siapa penyairnya. Juga dalam sumber kajian yang sama. Bahkan sampai kini (ketika tulisan ini pertama di tulis 1993 dan dimuat di rubrik Budaya Minggu Ini Haluan), sampai akhirnya aku tahu kalau penyair itu lahir beberapa abad sebelum hadirnya penyair profetik kenamaan lainnya Jami (1414-1492), seperti pernah diungkapkan Budayawan Perancis Roger Graudy dalam buku karyanya ‘Promeses de Islam”.

Sesungguhnya apa yang sangat mempesonaku dari sajak tadi? Apalagi dari segi bentuk, ia sangat biasa. Tetapi bila maknanya disimak dengan seksama, kita dapat menangkap bagaimana penyair mampu menghadirkan sikapnya, untuk mengungkapkan, bahwa ‘arti’ adalah suatu realitas yang tidak kelihatan dari suatu fenomena yang kelihatan.

Lalu, dengan melihat ke dalam fenomena itu, penjelamaan yang di belakangnya, juga terdapat alamat-alamat, simbol-simbol dan theophani yang mengajak kita untuk senantiasa berada dalam gaung kebesaran Allah yang satu. Bagi yang gemar melakukan studi komparatif terhadap syair-syair Islam dan syair-syair profetik dan Qur’ani pasti tak ragu, ciri seperti ini adalah miliknya Jalaludin Rumi yang hidup pada tahun 1207-1273.

Dalam tulisan ini aku bukan bermaksud untuk mengkultuskan seorang Jalaluddin Rumi. Tidak sama sekali. Tetapi ada yang lebih penting dari itu. Apalagi mempesonai sebuah sajak, tentu suatu yang jarang terjadi dalam kehidupan seorang penyair. Kecuali kalau sajak tersebut memang begitu jauh memakna ke dalam jiwanya. Bahkan ia akan mampu menggugah pikiran-pikiran sehubungan dengan realitas yang membuat batin gelisah.


Begitu juga denganku. Aku rela saja untuk dikatakan sombong bila aku memang termasuk penyair yang tidak begitu mudah terpesona oleh sajak-sajak. Itu barangkali karena sajak sajak tersebut (yang umumnya banyak bertebaran di berbagai media dan buku-buku puisi saat ini) memang tidak banyak yang mampu menyentuh cita rasa seni dan cita insaniku.

Karenanya, dalam ‘kesepian’ seorang penyair itu, bagiku membolak-balik lembaran kebudayaan masa silam, membaca sajak-sajak penyair belahan dunia yang lain, melintas waktu dan berbagai dimensi, di samping memperkaya referensi bagi sikap kepenyairan, barangkali memang hanya dengan cara itulah aku bisa mencari seteguk air bagi pemuasan dahaga yang tampaknya memang begitu sulit terpuasi.

sebuah potretNamun ketika membaca sajak Rumi, sebagaimana yang dikutip di atas, tiba-tiba begitu saja keawaman sastraku mengajakku bertualang berkendara rasa keingintahuan yang begitu menggelisahkan. Gelombang kegemetaran jiwaku terasa kembali kian kencang, setiap kali menemukan sajak-sajak profetik dan Qur’ani lainnya. Seperti buku-buku puisi Iqbal, misalnya. Apalagi ketika seorang teman begitu saja, mengirimkan sebuah buku buatku (yang bukan buku sajak), namun di dalamnya ada sebuah sajak dari Jami.

Jiwaku menderu. Kegelisahan yang menggebubu. Ada jembatan pelangi yang menghubungkannya dengan sajak Rumi yang pernah mengusikku. Sekelabatan aku tiba-tiba melihat segalanya terasa terang benderang, bahkan aku bisa pastikan bahwa, bukankah sajak ini adalah tak obahnya sebagai suatu jawaban dari sajak Rumi yang saya kutip di atas? Adapun kutipan sajak Jami yang menggetarkan itu adalah sebagai berikut :

dari semenjak azali, tuhan yang tercinta 
mengungkapkan keindahan dalam kesepian diri yang tak terlihat 
tak ada mata lain kecuali penglihatannya yang pernah melihat alam 
semuanya itu satu 
wujud yang sangat besar dari langit 
dan gerakan gerakan yang tak terbatas dari angkasanya.
semua itu tercakup dalam satu titik 
dan tersembunyi di dalamnya penciptaanya 
beristirahat dalam tidurnya yang tiada, 
SEPERTI SEORANG BAYI SEBELUM NAFASNYA YANG PERTAMA....

Berbeda dengan Rumi, maka dari sajak Jami ini kita dapat menangkap bagaimana penyair mengungkapkan, bahwa alam merupakan ekspresi luar dan yang nampak dari suatu realitas, dan realitas adalah yang sesungguhnya ada di dalamnya. Hal yang tidak tampak dari alam (Eva de Vitray Meyerovitch: Anthologie du soufisme/GR).

Inilah hal aktual dan membuatku merasa perlu merenung buat beberapa lama. Aku benar-benar melihat kesinambungan pemikiran antara dua orang penyair ; dari sajak sajak, yang datang dari abad-abad yang berbeda, dari geografis wilayah yang jaraknya cukup jauh luar biasa, namun keduanya senantiasa bergantung kepada tali-NYA dalam setiap karyanya. (bersambung ke [Bagian 2]

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar